Sejarah Indonesia meliputi suatu rentang waktu yang sangat panjang yang dimulai sejak zaman prasejarah berdasarkan penemuan "Manusia Jawa" yang berusia 1,7 juta tahun yang lalu. Periode sejarah Indonesia dapat dibagi menjadi lima era: Era Prakolonial, munculnya kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha serta Islam di Jawa dan Sumatera yang terutama mengandalkan perdagangan; Era Kolonial, masuknya orang-orang Eropa (terutama Belanda) yang menginginkan rempah-rempah mengakibatkan penjajahan oleh Belanda selama sekitar 3,5 abad antara awal abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-20; Era Kemerdekaan Awal, pasca-Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (1945) sampai jatuhnya Soekarno (1966); Era Orde Baru, 32 tahun masa pemerintahan Soeharto (1966–1998); serta Orde Reformasi yang berlangsung sampai sekarang.
Replika tempurung kepala manusia Jawa yang pertama kali
ditemukan di Sangiran
Secara geologi, wilayah Indonesia modern (untuk kemudahan,
selanjutnya disebut Nusantara) merupakan pertemuan antara tiga lempeng benua
utama: Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan Lempeng Pasifik (lihat
artikel Geologi Indonesia). Kepulauan Indonesia seperti yang ada saat ini
terbentuk pada saat melelehnya es setelah berakhirnya Zaman Es, sekitar 10.000
tahun yang lalu.
Pada masa Pleistosen, ketika masih terhubung dengan Asia
Daratan, masuklah pemukim pertama. Bukti pertama yang menunjukkan penghuni awal
adalah fosil-fosil Homo erectus manusia Jawa dari masa 2 juta hingga 500.000
tahun lalu. Penemuan sisa-sisa "manusia Flores" (Homo
floresiensis)[1] di Liang Bua, Flores, membuka kemungkinan masih bertahannya H.
erectus hingga masa Zaman Es terakhir.[2]
Homo sapiens pertama diperkirakan masuk ke Nusantara sejak
100.000 tahun yang lalu melewati jalur pantai Asia dari Asia Barat, dan pada
sekitar 60 000 sampai 70 000 tahun yang lalu telah mencapai Pulau Papua dan
Australia.[3] Mereka, yang berfenotipe kulit gelap dan rambut ikal rapat,
menjadi nenek moyang penduduk asli Melanesia (termasuk Papua) sekarang dan
membawa kultur kapak lonjong (Paleolitikum). Gelombang pendatang berbahasa
Austronesia dengan kultur Neolitikum datang secara bergelombang sejak 3000 SM
dari Cina Selatan melalui Formosa dan Filipina membawa kultur beliung persegi
(kebudayaan Dongson). Proses migrasi ini merupakan bagian dari pendudukan
Pasifik. Kedatangan gelombang penduduk berciri Mongoloid ini cenderung ke arah
barat, mendesak penduduk awal ke arah timur atau berkawin campur dengan
penduduk setempat dan menjadi ciri fisik penduduk Maluku serta Nusa Tenggara.
Pendatang ini membawa serta teknik-teknik pertanian, termasuk bercocok tanam
padi di sawah (bukti paling lambat sejak abad ke-8 SM), beternak kerbau,
pengolahan perunggu dan besi, teknik tenun ikat, praktik-praktik megalitikum,
serta pemujaan roh-roh (animisme) serta benda-benda keramat (dinamisme). Pada
abad pertama SM sudah terbentuk permukiman-permukiman serta kerajaan-kerajaan
kecil, dan sangat mungkin sudah masuk pengaruh kepercayaan dari India akibat
hubungan perniagaan.
Era pra kolonial
Sejarah awal
Lihat pula: Sejarah Nusantara
Para cendekiawan India telah menulis tentang Dwipantara atau
kerajaan Hindu Jawa Dwipa di pulau Jawa dan Sumatra atau Swarna dwipa sekitar
200 SM. Bukti fisik awal yang menyebutkan mengenai adanya dua kerajaan bercorak
Hinduisme pada abad ke-5, yaitu: Kerajaan Tarumanagara yang menguasai Jawa
Barat dan Kerajaan Kutai di pesisir Sungai Mahakam, Kalimantan. Pada tahun 425
agama Buddha telah mencapai wilayah tersebut.
Di saat Eropa memasuki masa Renaisans, Nusantara telah mempunyai
warisan peradaban berusia ribuan tahun dengan dua kerajaan besar yaitu
Sriwijaya di Sumatra dan Majapahit di Jawa, ditambah dengan puluhan kerajaan
kecil yang sering kali menjadi vazal tetangganya yang lebih kuat atau saling
terhubung dalam semacam ikatan perdagangan (seperti di Maluku).
Kerajaan Hindu-Buddha
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sejarah Nusantara
pada era kerajaan Hindu-Buddha
Prasasti Tugu peninggalan Raja Purnawarman dari Taruma
Pada abad ke-4 hingga abad ke-7 di wilayah Jawa Barat
terdapat kerajaan bercorak Hindu-Budha yaitu kerajaan Tarumanagara yang
dilanjutkan dengan Kerajaan Sunda sampai abad ke-16. Pada masa abad ke-7 hingga
abad ke-14, kerajaan Buddha Sriwijaya berkembang pesat di Sumatra. Penjelajah
Tiongkok I Ching mengunjungi ibukotanya Palembang sekitar tahun 670. Pada
puncak kejayaannya, Sriwijaya menguasai daerah sejauh Jawa Barat dan
Semenanjung Melayu. Abad ke-14 juga menjadi saksi bangkitnya sebuah kerajaan
Hindu di Jawa Timur, Majapahit. Patih Majapahit antara tahun 1331 hingga 1364,
Gajah Mada berhasil memperoleh kekuasaan atas wilayah yang kini sebagian
besarnya adalah Indonesia beserta hampir seluruh Semenanjung Melayu. Warisan
dari masa Gajah Mada termasuk kodifikasi hukum dan dalam kebudayaan Jawa,
seperti yang terlihat dalam wiracarita Ramayana.
Kerajaan Islam
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sejarah Nusantara
pada era kerajaan Islam
Islam sebagai sebuah pemerintahan hadir di Indonesia sekitar
abad ke-12, namun sebenarnya Islam sudah sudah masuk ke Indonesia pada abad 7
Masehi. Saat itu sudah ada jalur pelayaran yang ramai dan bersifat
internasional melalui Selat Malaka yang menghubungkan Dinasti Tang di Cina,
Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani Umayyah di Asia Barat sejak abad 7.[4]
Menurut sumber-sumber Cina menjelang akhir perempatan ketiga
abad 7, seorang pedagang Arab menjadi pemimpin permukiman Arab muslim di
pesisir pantai Sumatera. Islam pun memberikan pengaruh kepada institusi politik
yang ada. Hal ini tampak pada Tahun 100 H (718 M) Raja Sriwijaya Jambi yang
bernama Srindravarman mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari
Kekhalifahan Bani Umayyah meminta dikirimkan da'i yang bisa menjelaskan Islam
kepadanya. Surat itu berbunyi: “Dari Raja di Raja yang adalah keturunan seribu
raja, yang isterinya juga cucu seribu raja, yang di dalam kandang binatangnya
terdapat seribu gajah, yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi
pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak
wanginya hingga menjangkau jarak 12 mil, kepada Raja Arab yang tidak
menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Allah. Saya telah mengirimkan kepada anda
hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekadar
tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang
dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang
hukum-hukumnya.” Dua tahun kemudian, yakni tahun 720 M, Raja Srindravarman,
yang semula Hindu, masuk Islam. Sriwijaya Jambi pun dikenal dengan nama
'Sribuza Islam'. Sayang, pada tahun 730 M Sriwijaya Jambi ditawan oleh
Sriwijaya Palembang yang masih menganut Budha.[5]
Islam terus mengokoh menjadi institusi politik yang
mengemban Islam. Misalnya, sebuah kesultanan Islam bernama Kesultanan Peureulak
didirikan pada 1 Muharram 225 H atau 12 November 839 M. Contoh lain adalah
Kerajaan Ternate. Islam masuk ke kerajaan di kepulauan Maluku ini tahun 1440.
Rajanya seorang Muslim bernama Bayanullah.
Kesultanan Islam kemudian semikin menyebarkan
ajaran-ajarannya ke penduduk dan melalui pembauran, menggantikan Hindu sebagai
kepercayaan utama pada akhir abad ke-16 di Jawa dan Sumatera. Hanya Bali yang
tetap mempertahankan mayoritas Hindu. Di kepulauan-kepulauan di timur, rohaniawan-rohaniawan
Kristen dan Islam diketahui sudah aktif pada abad ke-16 dan 17, dan saat ini
ada mayoritas yang besar dari kedua agama di kepulauan-kepulauan tersebut.
Penyebaran Islam dilakukan melalui hubungan perdagangan di
luar Nusantara; hal ini, karena para penyebar dakwah atau mubaligh merupakan
utusan dari pemerintahan Islam yang datang dari luar Indonesia, maka untuk
menghidupi diri dan keluarga mereka, para mubaligh ini bekerja melalui cara
berdagang, para mubaligh inipun menyebarkan Islam kepada para pedagang dari
penduduk asli, hingga para pedagang ini memeluk Islam dan meyebarkan pula ke
penduduk lainnya, karena umumnya pedagang dan ahli kerajaan lah yang pertama
mengadopsi agama baru tersebut. Kerajaan Islam penting termasuk di antaranya:
Kerajaan Samudera Pasai, Kesultanan Banten yang menjalin hubungan diplomatik
dengan negara-negara Eropa, Kerajaan Mataram, Kerajaan Iha, Kesultanan Ternate
dan Kesultanan Tidore di Maluku.
Era kolonial
Kolonisasi Portugis dan Spanyol
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sejarah Nusantara
Zaman Portugis dan Spanyol
Afonso (kadang juga ditulis Alfonso) de Albuquerque. Karena
tokoh inilah, yang membuat kawasan Nusantara waktu itu dikenal oleh orang Eropa
dan dimulainya Kolonisasi berabad-abad oleh Portugis bersama bangsa Eropa lain,
terutama Inggris dan Belanda.
Dari Sungai Tejo yang bermuara ke Samudra Atlantik itulah
armada Portugis mengarungi Samudra Atlantik, yang mungkin memakan waktu sebulan
hingga tiga bulan, melewati Tanjung Harapan Afrika, menuju Selat Malaka. Dari
sini penjelajahan dilanjutkan ke Kepulauan Maluku untuk mencari rempah-rempah,
komoditas yang setara emas kala itu.
”Pada abad 16 saat petualangan itu dimulai biasanya para
pelaut negeri Katolik itu diberkati oleh pastor dan raja sebelum berlayar
melalui Sungai Tagus,” kata Teresa. Biara St Jeronimus atau Biara Dos Jeronimos
dalam bahasa Portugis itu didirikan oleh Raja Manuel pada tahun 1502 di tempat
saat Vasco da Gama memulai petualangan ke timur.
Museum Maritim atau orang Portugis menyebut Museu de Marinha
itu didirikan oleh Raja Luis pada 22 Juli 1863 untuk menghormati sejarah
maritim Portugis.
Selain patung di taman, lukisan Afonso de Albuquerque juga
menjadi koleksi museum itu. Di bawah lukisan itu tertulis, ”Gubernur India
1509-1515. Peletak dasar Kerajaan Portugis di India yang berbasis di Ormuz,
Goa, dan Malaka. Pionir kebijakan kekuatan laut sebagai kekuatan sentral
kerajaan”. Berbagai barang perdagangan Portugis juga dipamerkan di museum itu,
bahkan gundukan lada atau merica.
Ada sejumlah motivasi mengapa Kerajaan Portugis memulai
petualangan ke timur. Ahli sejarah dan arkeologi Islam Uka Tjandrasasmita dalam
buku Indonesia-Portugal: Five Hundred Years of Historical Relationship (Cepesa,
2002), mengutip sejumlah ahli sejarah, menyebutkan tidak hanya ada satu
motivasi Kerajaan Portugis datang ke Asia. Ekspansi itu mungkin dapat diringkas
dalam tiga kata bahasa Portugis, yakni feitoria, fortaleza, dan igreja. Arti
harfiahnya adalah emas, kejayaan, dan gereja atau perdagangan, dominasi
militer, dan penyebaran agama Katolik.
Menurut Uka, Albuquerque, Gubernur Portugis Kedua dari
Estado da India, Kerajaan Portugis di Asia, merupakan arsitek utama ekspansi
Portugis ke Asia. Dari Goa, ia memimpin langsung ekspedisi ke Malaka dan tiba
di sana awal Juli 1511 membawa 15 kapal besar dan kecil serta 600 tentara. Ia
dan pasukannya mengalahkan Malaka 10 Agustus 1511. Sejak itu Portugis menguasai
perdagangan rempah-rempah dari Asia ke Eropa. Setelah menguasai Malaka,
ekspedisi Portugis yang dipimpin Antonio de Abreu mencapai Maluku, pusat
rempah-rempah.
Periode Kejayaan Portugis di Nusantara
Periode 1511-1526, selama 15 tahun, Nusantara menjadi
pelabuhan maritim penting bagi Kerajaan Portugis, yang secara reguler menjadi
rute maritim untuk menuju Pulau Sumatera, Jawa, Banda, dan Maluku.
Pada tahun 1511 Portugis mengalahkan Kerajaan Malaka.
Pada tahun 1512 Portugis menjalin komunikasi dengan Kerajaan
Sunda untuk menandatangani perjanjian dagang, terutama lada. Perjanjian dagang
tersebut kemudian diwujudkan pada tanggal 21 Agustus 1522 dalam bentuk dokumen
kontrak yang dibuat rangkap dua, satu salinan untuk raja Sunda dan satu lagi
untuk raja Portugal. Pada hari yang sama dibangun sebuah prasasti yang disebut
Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal di suatu tempat yang saat ini menjadi sudut
Jalan Cengkeh dan Jalan Kali Besar Timur I, Jakarta Barat. Dengan perjanjian
ini maka Portugis dibolehkan membangun gudang atau benteng di Sunda Kelapa.
Pada tahun 1512 juga Afonso de Albuquerque mengirim Antonio
Albreu dan Franscisco Serrao untuk memimpin armadanya mencari jalan ke tempat
asal rempah-rempah di Maluku. Sepanjang perjalanan, mereka singgah di Madura,
Bali, dan Lombok. Dengan menggunakan nakhoda-nakhoda Jawa, armada itu tiba di
Kepulauan Banda, terus menuju Maluku Utara hingga tiba di Ternate.
Kehadiran Portugis di perairan dan kepulauan Indonesia itu
telah meninggalkan jejak-jejak sejarah yang sampai hari ini masih dipertahankan
oleh komunitas lokal di Nusantara, khususnya flores, Solor dan Maluku, di
Jakarta Kampong Tugu yang terletak di bagian Utara Jakarta, antara Kali Cakung,
pantai Cilincing dan tanah Marunda.
Bangsa Eropa pertama yang menemukan Maluku adalah Portugis,
pada tahun 1512. Pada waktu itu 2 armada Portugis, masing-masing di bawah
pimpinan Anthony d'Abreu dan Fransisco Serau, mendarat di Kepulauan Banda dan
Kepulauan Penyu. Setelah mereka menjalin persahabatan dengan penduduk dan
raja-raja setempat - seperti dengan Kerajaan Ternate di pulau Ternate, Portugis
diberi izin untuk mendirikan benteng di Pikaoli, begitupula Negeri Hitu lama,
dan Mamala di Pulau Ambon.Namun hubungan dagang rempah-rempah ini tidak
berlangsung lama, karena Portugis menerapkan sistem monopoli sekaligus
melakukan penyebaran agama Kristen.
Salah seorang misionaris terkenal adalah Fransiskus
Xaverius. Tiba di Ambon 14 Februari 1546, kemudian melanjutkan perjalanan ke
Ternate, tiba pada tahun 1547, dan tanpa kenal lelah melakukan kunjungan ke
pulau-pulau di Kepulauan Maluku untuk melakukan penyebaran agama. Persahabatan
Portugis dan Ternate berakhir pada tahun 1570. Peperangan dengan Sultan
Babullah selama 5 tahun (1570-1575), membuat Portugis harus angkat kaki dari
Ternate dan terusir ke Tidore dan Ambon.
Perlawanan rakyat Maluku terhadap Portugis, dimanfaatkan
Belanda untuk menjejakkan kakinya di Maluku. Pada tahun 1605, Belanda berhasil
memaksa Portugis untuk menyerahkan pertahanannya di Ambon kepada Steven van der
Hagen dan di Tidore kepada Cornelisz Sebastiansz. Demikian pula benteng Inggris
di Kambelo, Pulau Seram, dihancurkan oleh Belanda. Sejak saat itu Belanda
berhasil menguasai sebagian besar wilayah Maluku.
Kedudukan Belanda di Maluku semakin kuat dengan berdirinya
VOC pada tahun 1602, dan sejak saat itu Belanda menjadi penguasa tunggal di
Maluku. Di bawah kepemimpinan Jan Pieterszoon Coen, Kepala Operasional VOC,
perdagangan cengkih di Maluku sepunuh di bawah kendali VOC selama hampir 350
tahun. Untuk keperluan ini VOC tidak segan-segan mengusir pesaingnya; Portugis,
Spanyol, dan Inggris. Bahkan puluhan ribu orang Maluku menjadi korban
kebrutalan VOC.
kemudian mereka membangun benteng di Ternate tahun 1511,
kemudian tahun 1512 membangun Benteng di Amurang Sulawesi Utara. Portugis kalah
perang dengan Spanyol maka daerah Sulawesi Utara diserahkan dalam kekuasaan
Spanyol (1560 hingga 1660). Kerajaan Portugis kemudian dipersatukan dengan
Kerajaan Spanyol. (Baca buku :Sejarah Kolonial Portugis di Indonesia, oleh
David DS Lumoindong). Abad 17 datang armada dagang VOC (Belanda) yang kemudian
berhasil mengusir Portugis dari Ternate, sehingga kemudian Portugis mundur dan
menguasai Timor timur (sejak 1515).
Kolonialisme dan Imperialisme mulai merebak di Indonesia
sekitar abad ke-15, yaitu diawali dengan pendaratan bangsa Portugis di Malaka
dan bangsa Belanda yang dipimpin Cornellis de Houtman pada tahun 1596, untuk
mencari sumber rempah-rempah dan berdagang.
Perlawanan Rakyat terhadap Portugis
Kedatangan bangsa Portugis ke Semenanjung Malaka dan ke
Kepulauan Maluku merupakan perintah dari negaranya untuk berdagang.
Perlawanan Rakyat Minahasa terhadap Portugis
Perjuangan perlawanan Rakyat Perserikatan Minahasa melawan
Portugis telah berlangsung dari tahun 1512-1560, dengan gabungan perserikatan
suku-suku di Minahasa maka mereka dapat mengusir Portugis. Portugis membangun
beberapa Benteng pertahanan di Minahasa di antaranya di Amurang dan Kema.
Perlawanan Rakyat Malaka terhadap Portugis
Pada tahun 1511, armada Portugis yang dipimpin oleh
Albuquerque menyerang Kerajaan Malaka. Usaha perlawanan kolonial Portugis di
Malaka yang terjadi pada tahun 1513 mengalami kegagalan karena kekuatan dan
persenjataan Portugis lebih kuat. Pada tahun 1527, armada Demak di bawah
pimpinan Fatahillah/Falatehan dapat menguasai Banten,Sunda Kelapa, dan Cirebon.
Armada Portugis dapat dihancurkan oleh Fatahillah/Falatehan dan ia kemudian
mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta yang artinya kemenangan besar,
yang kemudian menjadi Jakarta.
Perlawanan rakyat Aceh terhadap Portugis
Mulai tahun 1554 hingga tahun 1555, upaya Portugis tersebut
gagal karena Portugis mendapat perlawanan keras dari rakyat Aceh. Pada saat
Sultan Iskandar Muda berkuasa, Kerajaan Aceh pernah menyerang Portugis di
Malaka pada tahun 1615 dan 1629.
Perlawanan Rakyat Maluku terhadap Portugis
Bangsa Portugis pertama kali mendarat di Maluku pada tahun
1511. Kedatangan Portugis berikutnya pada tahun 1513. Akan tetapi, Ternate
merasa dirugikan oleh Portugis karena keserakahannya dalam memperoleh keuntungan
melalui usaha monopoli perdagangan rempah-rempah.
Pada tahun 1533, Sultan Ternate menyerukan kepada seluruh
rakyat Maluku untuk mengusir Portugis di Maluku. Pada tahun 1570, rakyat
Ternate yang dipimpin oleh Sultan Hairun dapat kembali melakukan perlawanan
terhadap bangsa Portugis, namun dapat diperdaya oleh Portugis hingga akhirnya
tewas terbunuh di dalam Benteng Duurstede. Selanjutnya dipimpin oleh Sultan
Baabullah pada tahun 1574. Portugis diusir yang kemudian bermukim di Pulau
Timor.
Garis waktu kolonialisasi
Kolonialisasi Spanyol
1521 Spanyol mendarat di Sulawesi Utara
1560 Spanyol mendirikan pos di Manado.
1617 Gerakan perlawanan rakyat Minahasa di Sulawesi Utara
untuk mengusir kolonial Spanyol.
1646 Spanyol di usir dari Minahasa dan Sulawesi Utara. Tahun
selanjutnya Spanyol masih mencoba memengaruhi kerajaan sekitar untuk merebut
kembali Minahasa tapi gagal, terakhir dengan mendukung Bolaang Mongondow yang
berakhir tahun 1692.
Kolonialisasi Portugis
1509 - 1520
1509 Portugis tiba pertama kali di Melaka.
1511 April, Admiral Portugis Alfonso de Albuquerque
memutuskan berlayar dari Goa ke Melaka.
10 Agustus, Pasukan Albuquerque menguasai Melaka.
Sultan Melaka melarikan diri ke Riau.
Portugis di Melaka menghancurkan armada Jawa. Kapal mereka
karam dengan seluruh hartanya dalam perjalanan kembali ke Goa.
Pati Unus menaklukkan Jepara
Desember, Albuquerque mengirim tiga kapal di bawah Antonio
de Abreu dari Melaka untuk menjelajah ke arah Timur.
1512 Perjalanan ekspedisi De Abreu dari Melaka menuju
Madura, Bali, Lombok, Aru dan Banda.
Dua kapal rusak di Banda. Da Breu kembali ke Melaka;
Francisco Serrão memperbaiki kapal dan melanjutkan menuju ke Ambon, Ternate,
dan Tidore. Serrão menawarkan dukungan bagi Ternate dalam perselisihannya
dengan Tidore, pasukannya mendirikan sebuah pos Portugis di Ternate.
1513 Pasukan dari Jepara dan Palembang menyerang Portugis di
Melaka, tetapi berhasil dipukul mundur. Maret, Portugis mengirim seorang duta
menemui Raja Sunda di Pajajaran. Portugis diizinkan untuk membangun sebuah
benteng di Sunda Kelapa (sekarang Jakarta).
Portugis menghubungi Raja Udara, anak dari Girindrawardhana
dan penguasa bekas kerajaan Majapahit
Portugis membangun pabrik-pabrik di Ternate dan Bacan.
Udara menyerang Demak dengan bantuan dari Raja Klungkung
dari Bali. Pasukan Majapahit dipukul mundur, tapi Sunan Ngudung tewas dalam
pertempuran. Banyak pendukung Majapahit melarikan diri ke Bali.
1514
Ali Mughayat Syah mendirikan Kesultanan Aceh, dan menjadi Sultan
Aceh pertama.
1515
Portugis pertama kali tiba di Timor.
1518
Sultan Mahmud dari Melaka mengambil alih kekuasaan di Johor.
Raden Patah meninggal dunia; Pati Unus menjadi Sultan Demak.
1520
Aceh mulai menguasai pantai timur laut Sumatra.
Rakyat Bali menyerang Lombok.
Para pedagang Portugis mulai mengunjungi Flores dan Solor.
Banjar di Kalimantan menjadi Islam.
1521 – 1530
1521
Unus memimpin armada dari Demak dan Cirebon melawan
orang-orang Portugis di Melaka. Unus terbunuh dalam pertempuran. Trenggono
menjadi Sultan Demak.
Portugis merebut Pasai di Sumatra;
Gunung Jati (dari Cirebon) meninggalkan Pasai berangkat ke
Mekkah.
Kapal terakhir dari ekspedisi Magelhaens mengeliling dunia
berlayar antara pulau Lembata dan Pantar di Nusa Tenggara.
1522
Februari ekspedisi Portugis di bawah De Brito tiba di Banda.
Mei, ekspedisi De Brito tiba di Ternate, membangung sebuah
benteng Portugis.
Kerajaan Sunda, yang masih beragama Hindu, meminta bantuan
Portugis untuk menghadapi kemungkinan serangan Demak yang Muslim. Kontrak kerja
sama ditandatangani dan sebuah padrao didirikan di Sunda Kalapa
Sisa-sisa ekspedisi Magelhaens berkeliling dunia mengunjungi
Timor.
Portugis membangun benteng di Hitu, Ambon.
1523
Gunungjati kembali dari Mekkah, kembali ke Cirebon, dan
menetap di Demak, menikahi saudara perempuan Sultan Trenggono.
1524
Gunungjati dari Cirebon dan anaknya Hasanuddin (di Banten)
melakukan dakwah secara terbuka dan rahasia di Jawa Barat untuk memperlemah
Kerajaan Sunda yang beribukota di Pajajaran dan persekutuannya dengan Portugis.
Pemerintah lokal di Banten, yang tadinya tergantung pada Pajajaran, masuk Islam
dan bergabung dengan pihak Cirebon dan Demak.
Aceh merebut Pasai dan Pedir di Sumatera Utara.
1525
Hasanuddin (dari Banten), anak dari Gunungjati (dari
Cirebon), melakukan dakwah di Lampung.
1526
Portugis membangun benteng pertama di Timor.
1527
Demak menaklukkan Kediri, sisa-sisa Hindu dari kerajaan
Majapahit; Sultan-sultan Demak mengklaim sebagai pengganti Majapahit; Sunan
Kudus ikut serta.
Demak merebut Tuban.
Cirebon, dibantu Demak, menduduki Sunda Kelapa, pelabuhan
Kerajaan Sunda. Fatahillah mengganti namanya menjadi Jayakarta. (Sukses ini
dikatakan berkat pimpinan "Fatahillah"—atau, sesuai dengan kekeliruan
ucapan Portugis, "Falatehan"—namun mungkin ini adalah nama yang
diberikan kepada Sunan Gunungjati dari Cirebon) Para penjaga keamanan pelabuhan
Kerajaan Sunda didorong mundur meninggalkan daerah pesisir. Dengan demikian
pembangunan gudang atau benteng sesuai perjanjian dagang antara Portugis dengan
Kerajaan Sunda batal terwujud.
Kerajaan Palakaran di Madura, yang berbasis di Arosbaya
(kini Bangkalan), menjadi Islam di bawah Kyai Pratanu.
Ekspedisi dari Spanyol dan Meksiko berusaha mengusir
Portugis dari Maluku.
1529
Demak menaklukkan Madiun.
Raja-raja Spanyol dan Portugal sepakat bahwa Maluku harus
menjadi milik Portugal, dan Filipina menjadi milik Spanyol.
1530
Salahuddin menjadi Sultan Aceh.
Surabaya dan Pasuruan takluk kepada Demak. Demak merebut
Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di ujung timur Jawa.
Gowa mulai meluas dari dari Makassar.
Banten memperluas pengaruhnya atas Lampung.
1531 – 1540
1536
Serangan besar Portugis terhadap Johor.
Antonio da Galvão menjadi gubernur di pos Portugis di
Ternate; mendirikan pos Portugis di Ambon.
Portugis membawa Sultan Tabariji dari Ternate ke Goa karena
mencurigainya melakukan kegiatan-kegiatan anti Portugis, menggantikannya dengan
saudara-saudaranya.
1537
Serangan Aceh atas Melaka gagal. Salahuddin dari Aceh
digantikan oleh Alaudin Riayat Syah I.
1539
Aceh menyerang suku Batak di selatan mereka.
1540
Portugis berhubungan dengan Gowa.
Kesultanan Butung didirikan.
1541 – 1550
1545
Demak menaklukkan Malang. Gowa membangun benteng di Ujung
Pandang.
1546
Demak menyerang Blambangan namun gagal.
Trenggono dari Demak meninggal dan digantikan oleh Prawata.
Menantunya, Joko Tingkir memperluas pengaruhnya dari Pajang (dekat Sukoharjo
sekarang).
St. Fransiskus Xaverius pergi ke Morotai, Ambon, dan
Ternate.
1547
Aceh menyerang Melaka.
1550
Portugis mulai membangun benteng-benteng di Flores.
1551 – 1560
1551
Johor menyerang Portugis Melaka dengan bantuan dari Jepara.
Pasukan-pasukan dari Ternate menguasai Kesultanan Jailolo di
Halmahera dengan bantuan Portugis.
1552
Hasanuddin memisahkan diri dari Demak dan mendirikan
Kesultanan Banten, lalu merebut Lampung untuk Kesultanan yang baru.
Aceh mengirim duta ke Suleiman I, Sultan Ottoman di
Istanbul.
1558
Leiliato memimpin suatu pasukan dari Ternate untuk menyerang
Portugis di Hitu.
Portugis membangun benteng di Bacan.
Ki Ageng Pemanahan menerima distrik Mataram dari Joko
Tinggir, memerintah di Pajang.
Wabah cacar di Ternate.
1559
Para misionaris Portugis mendarat di Timor. Khairun menjadi
Sultan Ternate.
1560
Portugis mendirikan pos misi dan perdagangan di Panarukan,
di ujung timur Jawa.
Spanyol mendirikan pos di Manado.
1561 – 1570
1561
Sultan Prawata dari Demak meninggal dunia.
Misi Dominikan Portugis didirikan di Solor.
1564
Wabah cacar di Ambon.
1565
Aceh menyerang Johor.
Kutai di Kalimantan menjadi Islam.
1566
Misi Dominikan Portugis di Solor membangun sebuah benteng
batu.
1568
Serangan yang gagal oleh Aceh di Melaka Portugis.
1569
Portugis membangun benteng kayu di pulau Ambon.
1570
Aceh menyerang Johor lagi, namun gagal.
Sultan Khairun dari Ternate menandatangani sebuah perjanjian
damai dengan Portugis, tetapi esok harinya ternyata ia diracuni. Agen-agen
Portugis dicurigai melakukannya. Baabullah menjadi Sultan (hingga * 1583), dan
bersumpah untuk mengusir Portugis keluar dari benteng-benteng mereka.
Maulana Yusuf menjadi Sultan Banten.
1571 – 1590
1571
Alaudin Riyat Shah meninggal, kekacauan di Aceh hingga 1607.
1574
Jepara memimpin serangan yang gagal di Melaka.
1575
Sultan Babullah mengusir Portugis dari Ternate. Karena itu
Portugis membangun sebuah benteng di Tidore.
1576
Portugis membangun benteng di kota Ambon sekarang.
1577
Ki Ageng Pemanahan mendirikan Kota Gede (dekat Yogyakarta
sekarang).
1579
Banten menyerang dan meluluhlantakkan Pajajaran merebut
sisa-sisa Kerajaan Sunda, dan menjadikannya Islam. Raja Sunda terakhir yang
enggan memeluk Islam, yaitu Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana, meninggalkan
ibukota Kerajaan Sunda tersebut dan meninggal dalam pelarian di daerah Banten.
November, Sir Francis Drake dari Britania, setelah menyerang
kapal dan pelabuhan Spanyol di Amerika, tiba di Ternate. Sultan Babullah, yang
juga membenci orang-orang Spanyol, mengadakan perjanjian persahabatan dengan
Britania.
1580
Maulana Muhammad menjadi Sultan Banten.
Portugal jatuh ke tangan kerajaan Spanyol; usaha-usaha
kolonial Portugis tidak dipedulikan.
Drake mengunjungi Sulawesi dan Jawa, dalam perjalanan pulang
ke Britania.
Ternate menguasai Butung.
1581
Sekitar saat ini, Kyai Ageng Pemanahan mengambil alih
distrik Mataram (yang telah dijanjikan kepadanya oleh Joko Tingkir, yang
menundanya hingga Sunan Kalijaga dari Wali Songo mendesaknya), mengubah namanya
menjadi Kyai Gedhe Mataram.
1584
Sutawijaya menggantikan ayahnya Kyai Gedhe Mataram sebagai
pemerintah lokal dari Mataram, memerintah dari Kota Gede.
1585
Sultan Aceh mengirim surat kepada Elizabeth I dari Britania.
Kapal Portugis yang dikirim untuk membangun sebuah benteng
dan misi di Bali karam tepat di lepas pantai.
1587
Sutawijaya mengalahkan Pajang dan Joko Tingkir meninggal;
garis keturunan beralih kepada Sutawijaya. Gunung Merapi meletus.
Portugis di Melaka menyerang Johor.
Portugis menandatangani perjanjian perdamaian dengan Sultan
Aceh.
Sir Thomas Cavendish dari Britania mengunjungi Jawa.
1588
Sutawijaya mengganti namanya menjadi Senopati; merebut
Pajang dan Demak.
1590
Desa asli Medan didirikan.
1591 – 1659
1591
Senopati merebut Madiun, lalu Kediri.
Sir James Lancaster dari Britania tiba di Aceh dan Penang,
tetapi misinya gagal.
Ternate menyerang Portugis di Ambon.
1593
Ternate mengepung Portugis di Ambon kembali.
1595
2 April, ekspedisi Belanda di bawah De Houtman berangkat ke
Hindia Belanda.
Suriansyah menjadikan Banjar di Kalimantan sebuah Kesultanan
(belakangan Banjarmasin).
Portugis membangun benteng di Ende, Flores.
Kolonisasi VOC
Mulai tahun 1602 Belanda secara perlahan-lahan menjadi
penguasa wilayah yang kini adalah Indonesia, dengan memanfaatkan perpecahan di
antara kerajaan-kerajaan kecil yang telah menggantikan Majapahit. Satu-satunya
yang tidak terpengaruh adalah Timor Portugis, yang tetap dikuasai Portugal
hingga 1975 ketika berintegrasi menjadi provinsi Indonesia bernama Timor Timur.
Belanda menguasai Indonesia selama hampir 350 tahun (antara 1602 dan 1945),
kecuali untuk suatu masa pendek di mana sebagian kecil dari Indonesia dikuasai
Britania setelah Perang Jawa Britania-Belanda dan masa penjajahan Jepang pada
masa Perang Dunia II. Sewaktu menjajah Indonesia, Belanda mengembangkan Hindia
Belanda menjadi salah satu kekuasaan kolonial terkaya di dunia. 350 tahun
penjajahan Belanda bagi sebagian orang adalah mitos belaka karena wilayah Aceh
baru ditaklukkan kemudian setelah Belanda mendekati kebangkrutannya.
Pada abad ke-17 dan 18 Hindia Belanda tidak dikuasai secara
langsung oleh pemerintah Belanda namun oleh perusahaan dagang bernama
Perusahaan Hindia Timur Belanda (bahasa Belanda: Verenigde Oostindische
Compagnie atau VOC). VOC telah diberikan hak monopoli terhadap perdagangan dan
aktivitas kolonial di wilayah tersebut oleh Parlemen Belanda pada tahun 1602.
Markasnya berada di Batavia, yang kini bernama Jakarta.
Tujuan utama VOC adalah mempertahankan monopolinya terhadap
perdagangan rempah-rempah di Nusantara. Hal ini dilakukan melalui penggunaan
dan ancaman kekerasan terhadap penduduk di kepulauan-kepulauan penghasil
rempah-rempah, dan terhadap orang-orang non-Belanda yang mencoba berdagang
dengan para penduduk tersebut. Contohnya, ketika penduduk Kepulauan Banda terus
menjual biji pala kepada pedagang Inggris, pasukan Belanda membunuh atau
mendeportasi hampir seluruh populasi dan kemudian mempopulasikan pulau-pulau
tersebut dengan pembantu-pembantu atau budak-budak yang bekerja di perkebunan
pala.
VOC menjadi terlibat dalam politik internal Jawa pada masa
ini, dan bertempur dalam beberapa peperangan yang melibatkan pemimpin Mataram
dan Banten.
Kolonisasi pemerintah Belanda
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Indonesia: Era
Belanda
Era Napoleon (1800-1811)
Setelah VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) jatuh
bangkrut dan dibubarkan pada akhir abad ke-18, tepatnya adalah pada tahun 1
Januari 1800 dan setelah Belanda kalah Perang Eropa dan dikuasai Perancis, maka
Hindia Belanda jatuh ke tangan Perancis, walaupun secara pemerintahan masih di
bawah negara kesatuan Republik Belanda (hingga 1806), kemudian dilanjutkan
Kerajaan Hollandia (hingga 1810). Sejak saat itu dimulailah perang perebutan
kekuasaan antara Perancis (Belanda) dan Britania Raya, yang ditandai dengan
peralihan kekuasaan beberapa wilayah Hindia Belanda dan perjanjian, antara lain
Persetujuan Amiens hingga Kapitulasi Tuntang.
Dalam masa ini Hindia Belanda berturut-turut diperintah oleh
Gubernur Jenderal Overstraten, Wiese, Daendels, dan yang terakhir adalah
Janssens. Pada masa Daendels dibangunlah Jalan Raya Pos (jalur Pantura
sekarang), kemudian meluaskan daerah jajahan hingga ke Lampung, namun
kehilangan Ambon, Ternate dan Tidore yang direbut Britania. Tahun 1810 ketika
Perancis menganeksasi Belanda, maka bendera Perancis dikibarkan di Batavia, dan
Daendels kembali ke Eropa untuk berperang di bawah Napoleon. Janssens,
penggantinya, tidak memerintah lama, karena Britania di bawah Lord Minto datang
dan merebut Jawa dari Belanda-Perancis.
Interregnum Britania (1811-1816)
Setelah Britania menguasai Jawa, pemerintahan beralih
sementara dari Belanda ke Britania, hingga akhir perang Napoleon pada 1816
ketika Britania harus mengembalikan Hindia Belanda kepada Kerajaan Belanda.
Lord Minto menjadi Gubernur Jenderal pertama yang bermarkas di India, sedangkan
Raffles diangkat menjadi Letnan Gubernur yang memimpin Jawa. Raffles kemudian
membenahi pemerintahan di Jawa sesuai sistem pemerintahan Britania.
Salah satu penemuan penting pada pemerintahan Raffles adalah
penemuan kembali Candi Borobudur, salah satu candi Buddha terbesar di dunia,
dan Gunung Tambora di Sumbawa meletus, dengan korban langsung dan tidak
langsung mencapai puluhan ribu jiwa
Pemerintahan Kerajaan Belanda (sejak 1816)
Setelah Kongres Wina mengakhiri Perang Napoleon dan
mengembalikan Jawa ke Belanda, sejak 16 Agustus 1816 pemerintah Kerajaan
Belanda berkuasa dan berdaulat penuh atas wilayah Hindia Belanda yang tertulis
dalam Undang-Undang Kerajaan Belanda tahun 1814 dan diamendemen tahun 1848,
1872, dan 1922 menurut perkembangan wilayah Hindia Belanda, hingga 1942 ketika
Jepang datang menyerbu dalam Perang Dunia II.
Dalam masa ini, terjadi pemberontakan besar di Jawa dan
Sumatera, yang terkenal dengan Perang Diponegoro atau Perang Jawa, pada tahun
1825-1830, dan Perang Padri (1821-1837), dan perang-perang lainnya. Setelah
tahun 1830 sistem tanam paksa yang dikenal sebagai cultuurstelsel dalam bahasa
Belanda mulai diterapkan. Dalam sistem ini, para penduduk dipaksa menanam
hasil-hasil perkebunan yang menjadi permintaan pasar dunia pada saat itu,
seperti teh, kopi dll. Hasil tanaman itu kemudian diekspor ke mancanegara.
Sistem ini membawa kekayaan yang besar kepada para pelaksananya - baik yang
Belanda maupun yang Indonesia. Sistem tanam paksa ini adalah monopoli
pemerintah dan dihapuskan pada masa yang lebih bebas setelah 1870.
Pada 1901 pihak Belanda mengadopsi apa yang mereka sebut
Politik Etis (bahasa Belanda: Ethische Politiek), yang termasuk investasi yang
lebih besar dalam pendidikan bagi orang-orang pribumi, dan sedikit perubahan
politik. Di bawah gubernur-jenderal J.B. van Heutsz pemerintah Hindia Belanda
memperpanjang kekuasaan kolonial secara langsung di sepanjang Hindia Belanda,
dan dengan itu mendirikan fondasi bagi negara Indonesia saat ini.
Gerakan nasionalisme
Pada 1905 gerakan nasionalis yang pertama, Serikat Dagang
Islam dibentuk dan kemudian diikuti pada tahun 1908 oleh gerakan nasionalis
berikutnya, Budi Utomo. Belanda merespon hal tersebut setelah Perang Dunia I
dengan langkah-langkah penindasan. Para pemimpin nasionalis berasal dari
kelompok kecil yang terdiri dari profesional muda dan pelajar, yang beberapa di
antaranya telah dididik di Belanda. Banyak dari mereka yang dipenjara karena
kegiatan politis, termasuk Presiden Indonesia yang pertama, Soekarno.
Perang Dunia II
Pada Mei 1940, awal Perang Dunia II, Belanda diduduki oleh
Nazi Jerman. Hindia Belanda mengumumkan keadaan siaga dan di Juli mengalihkan
ekspor untuk Jepang ke Amerika Serikat dan Britania. Negosiasi dengan Jepang
yang bertujuan untuk mengamankan persediaan bahan bakar pesawat gagal di Juni
1941, dan Jepang memulai penaklukan Asia Tenggara di bulan Desember tahun itu.
Di bulan yang sama, faksi dari Sumatra menerima bantuan Jepang untuk mengadakan
revolusi terhadap pemerintahan Belanda. Pasukan Belanda yang terakhir
dikalahkan Jepang pada Maret 1942.
Pendudukan Jepang
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Indonesia: Era
Jepang
Wikisource
memiliki naskah sumber yang berkaitan dengan artikel ini:
Sukarno dalam memproklamasikan kemerdekaan Indonesia
Pada Juli 1942, Soekarno menerima tawaran Jepang untuk
mengadakan kampanye publik dan membentuk pemerintahan yang juga dapat
memberikan jawaban terhadap kebutuhan militer Jepang. Soekarno, Mohammad Hatta,
dan para Kyai memperoleh penghormatan dari Kaisar Jepang pada tahun 1943.
Tetapi, pengalaman dari penguasaan Jepang di Indonesia sangat bervariasi,
tergantung di mana seseorang hidup dan status sosial orang tersebut. Bagi yang
tinggal di daerah yang dianggap penting dalam peperangan, mereka mengalami
siksaan, terlibat perbudakan seks, penahanan sembarang dan hukuman mati, dan
kejahatan perang lainnya. Orang Belanda dan campuran Indonesia-Belanda merupakan
target sasaran dalam penguasaan Jepang.
Pada Maret 1945 Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pada pertemuan pertamanya di bulan
Mei, Soepomo membicarakan integrasi nasional dan melawan individualisme perorangan;
sementara itu Muhammad Yamin mengusulkan bahwa negara baru tersebut juga
sekaligus mengklaim Sarawak, Sabah, Malaya, Portugis Timur, dan seluruh wilayah
Hindia Belanda sebelum perang.
Pada 9 Agustus 1945 Soekarno, Hatta dan Radjiman
Widjodiningrat diterbangkan ke Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka
dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang menuju kehancuran tetapi Jepang
menginginkan kemerdekaan Indonesia pada 24 Agustus.
Era kemerdekaan
Proklamasi kemerdekaan
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia
Mendengar kabar bahwa Jepang tidak lagi mempunyai kekuatan
untuk membuat keputusan seperti itu pada 16 Agustus, Soekarno membacakan
"Proklamasi" pada hari berikutnya. Kabar mengenai proklamasi menyebar
melalui radio dan selebaran sementara pasukan militer Indonesia pada masa
perang, Pasukan Pembela Tanah Air (PETA), para pemuda, dan lainnya langsung
berangkat mempertahankan kediaman Soekarno.
Pada 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) melantik Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakil
Presiden dengan menggunakan konstitusi yang dirancang beberapa hari sebelumnya.
Kemudian dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai parlemen
sementara hingga pemilu dapat dilaksanakan. Kelompok ini mendeklarasikan
pemerintahan baru pada 31 Agustus dan menghendaki Republik Indonesia yang
terdiri dari 8 provinsi: Sumatra, Kalimantan (tidak termasuk wilayah Sabah,
Sarawak dan Brunei), Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku
(termasuk Papua) dan Nusa Tenggara.
Perang kemerdekaan
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Indonesia: Era
1945-1949
Teks Proklamasi
Dari 1945 hingga 1949, persatuan kelautan Australia yang
bersimpati dengan usaha kemerdekaan, melarang segala pelayaran Belanda
sepanjang konflik ini agar Belanda tidak mempunyai dukungan logistik maupun
suplai yang diperlukan untuk membentuk kembali kekuasaan kolonial.
Usaha Belanda untuk kembali berkuasa dihadapi perlawanan
yang kuat. Setelah kembali ke Jawa, pasukan Belanda segera merebut kembali
ibukota kolonial Batavia, akibatnya para nasionalis menjadikan Yogyakarta
sebagai ibukota mereka. Pada 27 Desember 1949 (lihat artikel tentang 27
Desember 1949), setelah 4 tahun peperangan dan negosiasi, Ratu Juliana dari
Belanda memindahkan kedaulatan kepada pemerintah Federal Indonesia. Pada 1950,
Indonesia menjadi anggota ke-60 PBB.
Demokrasi parlementer
Tidak lama setelah itu, Indonesia mengadopsi undang-undang
baru yang terdiri dari sistem parlemen di mana dewan eksekutifnya dipilih oleh
dan bertanggung jawab kepada parlemen atau MPR. MPR terbagi kepada
partai-partai politik sebelum dan sesudah pemilu pertama pada tahun 1955,
sehingga koalisi pemerintah yang stabil susah dicapai.
Peran Islam di Indonesia menjadi hal yang rumit. Soekarno
lebih memilih negara sekuler yang berdasarkan Pancasila sementara beberapa
kelompok Muslim lebih menginginkan negara Islam atau undang-undang yang berisi
sebuah bagian yang menyaratkan umat Islam takluk kepada hukum Islam.Demokrasi
Parlementer, adalah suatu demokrasi yang menempatkan kedudukan badan legislatif
lebih tinggi daripada badan eksekutif. Kepala pemerintahan dipimpin oleh
seorang Perdana Menteri. Perdana menteri dan menteri-menteri dalam kabinet
diangkat dan diberhentikan oleh parlemen. Dalam demokrasi parlementer Presiden
menjabat sebagai kepala negara.
Demokrasi Terpimpin
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Indonesia: Era
Demokrasi Terpimpin
Pemberontakan yang gagal di Sumatera, Sulawesi, Jawa Barat
dan pulau-pulau lainnya yang dimulai sejak 1958, ditambah kegagalan MPR untuk
mengembangkan konstitusi baru, melemahkan sistem parlemen Indonesia. Akibatnya
pada 1959 ketika Presiden Soekarno secara unilateral membangkitkan kembali
konstitusi 1945 yang bersifat sementara, yang memberikan kekuatan presidensil
yang besar, dia tidak menemui banyak hambatan.
Dari 1959 hingga 1965, Presiden Soekarno berkuasa dalam
rezim yang otoriter di bawah label "Demokrasi Terpimpin". Dia juga
menggeser kebijakan luar negeri Indonesia menuju non-blok, kebijakan yang
didukung para pemimpin penting negara-negara bekas jajahan yang menolak aliansi
resmi dengan Blok Barat maupun Blok Uni Soviet. Para pemimpin tersebut
berkumpul di Bandung, Jawa Barat pada tahun 1955 dalam KTT Asia-Afrika untuk
mendirikan fondasi yang kelak menjadi Gerakan Non-Blok.
Pada akhir 1950-an dan awal 1960-an, Soekarno bergerak lebih
dekat kepada negara-negara komunis Asia dan kepada Partai Komunis Indonesia
(PKI) di dalam negeri. Meski PKI merupakan partai komunis terbesar di dunia di
luar Uni Soviet dan China, dukungan massanya tak pernah menunjukkan penurutan
ideologis kepada partai komunis seperti di negara-negara lainnya.
Nasib Irian Barat
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Konflik Papua Barat
Pada saat kemerdekaan, pemerintah Belanda mempertahankan
kekuasaan terhadap belahan barat pulau Nugini (Papua), dan mengizinkan
langkah-langkah menuju pemerintahan-sendiri dan pendeklarasian kemerdekaan pada
1 Desember 1961.
Negosiasi dengan Belanda mengenai penggabungan wilayah
tersebut dengan Indonesia gagal, dan pasukan penerjun payung Indonesia mendarat
di Irian pada 18 Desember sebelum kemudian terjadi pertempuran antara pasukan
Indonesia dan Belanda pada 1961 dan 1962. Pada 1962 Amerika Serikat menekan
Belanda agar setuju melakukan perbincangan rahasia dengan Indonesia yang
menghasilkan Perjanjian New York pada Agustus 1962, dan Indonesia mengambil
alih kekuasaan terhadap Irian Jaya pada 1 Mei 1963.
Konfrontasi Indonesia-Malaysia
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Konfrontasi
Indonesia-Malaysia
Soekarno menentang pembentukan Federasi Malaysia dan
menyebut bahwa hal tersebut adalah sebuah "rencana neo-kolonial"
untuk mempermudah rencana komersial Inggris di wilayah tersebut. Selain itu
dengan pembentukan Federasi Malaysia, hal ini dianggap akan memperluas pengaruh
imperialisme negara-negara Barat di kawasan Asia dan memberikan celah kepada
negara Inggris dan Australia untuk memengaruhi perpolitikan regional Asia.
Menanggapi keputusan PBB untuk mengakui kedaulatan Malaysia dan menjadikan
Malaysia anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, presiden Soekarno mengumumkan
pengunduran diri negara Indonesia dari keanggotaan PBB pada tanggal 20 Januari
1965 dan mendirikan Konferensi Kekuatan Baru (CONEFO) sebagai tandingan PBB dan
GANEFO sebagai tandingan Olimpiade. Pada tahun itu juga konfrontasi ini
kemudian mengakibatkan pertempuran antara pasukan Indonesia dan Malaysia (yang
dibantu oleh Inggris).
Gerakan 30 September
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Gerakan 30 September
Hingga 1965, PKI telah menguasai banyak dari organisasi
massa yang dibentuk Soekarno untuk memperkuat dukungan untuk rezimnya dan,
dengan persetujuan dari Soekarno, memulai kampanye untuk membentuk
"Angkatan Kelima" dengan mempersenjatai pendukungnya. Para petinggi
militer menentang hal ini.
Partai Komunis Indonesia
Pada 30 September 1965, enam jenderal senior dan beberapa
orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal
istana yang loyal kepada PKI. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat
itu, Mayjen Soeharto, menumpas kudeta tersebut dan berbalik melawan PKI.
Soeharto lalu menggunakan situasi ini untuk mengambil alih kekuasaan. Lebih
dari puluhan ribu orang-orang yang dituduh komunis kemudian dibunuh. Jumlah
korban jiwa pada 1966 mencapai setidaknya 500.000; yang paling parah terjadi di
Jawa dan Bali.
Era Orde Baru
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Indonesia: Era Orde
Baru
Setelah Soeharto menjadi Presiden, salah satu pertama yang
dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia
pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud
untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam
kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28
September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.
Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa
jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara
berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.
Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia
politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam
negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya. Orde Baru
memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi (Pelita) sebagai tujuan utamanya dan
menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer
namun dengan nasihat dari ahli ekonomi didikan Barat. Selama masa
pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya
alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun
tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi
dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an.
Irian Jaya
Setelah menolak supervisi dari PBB, pemerintah Indonesia
melaksanakan "Act of Free Choice" (Aksi Pilihan Bebas) di Irian Jaya
pada 1969 di mana 1.025 wakil kepala-kepala daerah Irian dipilih dan kemudian
diberikan latihan dalam bahasa Indonesia. Mereka secara konsensus akhirnya
memilih bergabung dengan Indonesia. Sebuah resolusi Sidang Umum PBB kemudian
memastikan perpindahan kekuasaan kepada Indonesia. Penolakan terhadap
pemerintahan Indonesia menimbulkan aktivitas-aktivitas gerilya berskala kecil
pada tahun-tahun berikutnya setelah perpindahan kekuasaan tersebut. Dalam
atmosfer yang lebih terbuka setelah 1998, pernyataan-pernyataan yang lebih
eksplisit yang menginginkan kemerdekaan dari Indonesia telah muncul.
Timor Timur
Dari 1596 hingga 1975, Timor Timur adalah sebuah jajahan
Portugis di pulau Timor yang dikenal sebagai Timor Portugis dan dipisahkan dari
pesisir utara Australia oleh Laut Timor. Akibat kejadian politis di Portugal,
pejabat Portugal secara mendadak mundur dari Timor Timur pada 1975. Dalam
pemilu lokal pada tahun 1975, Fretilin, sebuah partai yang dipimpin sebagian
oleh orang-orang yang membawa paham Marxisme, dan UDT, menjadi partai-partai
terbesar, setelah sebelumnya membentuk aliansi untuk mengkampanyekan
kemerdekaan dari Portugal.
Pada 7 Desember 1975, pasukan Indonesia masuk ke Timor Timur
dalam sebuah operasi militer yang disebut Operasi Seroja. Indonesia, yang
mempunyai dukungan material dan diplomatik, dibantu peralatan persenjataan yang
disediakan Amerika Serikat dan Australia, berharap dengan memiliki Timor Timur
mereka akan memperoleh tambahan cadangan minyak dan gas alam, serta lokasi yang
strategis.
Pada masa-masa awal, pihak militer Indonesia (ABRI) membunuh
hampir 200.000 warga Timor Timur — melalui pembunuhan, pemaksaan kelaparan dan
lain-lain. Banyak pelanggaran HAM yang terjadi saat Timor Timur berada dalam
wilayah Indonesia.
Pada 30 Agustus 1999, rakyat Timor Timur memilih untuk
memisahkan diri dari Indonesia dalam sebuah pemungutan suara yang diadakan PBB.
Sekitar 99% penduduk yang berhak memilih turut serta; 3/4-nya memilih untuk
merdeka. Segera setelah hasilnya diumumkan, dikabarkan bahwa pihak militer
Indonesia melanjutkan pengrusakan di Timor Timur, seperti merusak infrastruktur
di daerah tersebut.
Pada Oktober 1999, MPR membatalkan dekret 1976 yang
mengintegrasikan Timor Timur ke wilayah Indonesia, dan Otorita Transisi PBB
(UNTAET) mengambil alih tanggung jawab untuk memerintah Timor Timur sehingga
kemerdekaan penuh dicapai pada Mei 2002 sebagai negara Timor Leste.
Krisis ekonomi
Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya didampingi B.J.
Habibie.
Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan
dan ekonomi Asia (untuk lebih jelas lihat: Krisis finansial Asia), disertai
kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas
ekspor lainnya yang semakin jatuh. Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan
perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin para
mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa
yang meluas, serta ribuan mahasiswa yang menduduki gedung DPR/MPR, Soeharto
mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk
masa bakti ketujuh. Soeharto kemudian memilih sang Wakil Presiden, B. J.
Habibie, untuk menjadi presiden ketiga Indonesia.
Era reformasi
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Indonesia: Era
Reformasi
Pemerintahan Habibie
Presiden Habibie segera membentuk sebuah kabinet. Salah satu
tugas pentingnya adalah kembali mendapatkan dukungan dari Dana Moneter
Internasional dan komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan
ekonomi. Dia juga membebaskan para tahanan politik dan mengurangi kontrol pada
kebebasan berpendapat dan kegiatan organisasi.
Pemerintahan Wahid
Pemilu untuk MPR, DPR, dan DPRD diadakan pada 7 Juni 1999.
PDI Perjuangan pimpinan putri Soekarno, Megawati Sukarnoputri keluar menjadi
pemenang pada pemilu parlemen dengan mendapatkan 34% dari seluruh suara; Golkar
(partai Soeharto - sebelumnya selalu menjadi pemenang pemilu-pemilu sebelumnya)
memperoleh 22%; Partai Persatuan Pembangunan pimpinan Hamzah Haz 12%; Partai
Kebangkitan Bangsa pimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 10%. Pada Oktober 1999,
MPR melantik Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan Megawati sebagai wakil
presiden untuk masa bakti 5 tahun. Wahid membentuk kabinet pertamanya, Kabinet
Persatuan Nasional pada awal November 1999 dan melakukan reshuffle kabinetnya
pada Agustus 2000.
Pemerintahan Presiden Wahid meneruskan proses demokratisasi
dan perkembangan ekonomi di bawah situasi yang menantang. Di samping
ketidakpastian ekonomi yang terus berlanjut, pemerintahannya juga menghadapi
konflik antar etnis dan antar agama, terutama di Aceh, Maluku, dan Papua. Di
Timor Barat, masalah yang ditimbulkan rakyat Timor Timur yang tidak mempunyai
tempat tinggal dan kekacauan yang dilakukan para militan Timor Timur
pro-Indonesia mengakibatkan masalah-masalah kemanusiaan dan sosial yang besar.
MPR yang semakin memberikan tekanan menantang kebijakan-kebijakan Presiden
Wahid, menyebabkan perdebatan politik yang meluap-luap.
Pemerintahan Megawati
Pada Sidang Umum MPR pertama pada Agustus 2000, Presiden
Wahid memberikan laporan pertanggung jawabannya. Pada 29 Januari 2001, ribuan
demonstran menyerbu MPR dan meminta Presiden agar mengundurkan diri dengan
alasan keterlibatannya dalam skandal korupsi. Di bawah tekanan dari MPR untuk
memperbaiki manajemen dan koordinasi di dalam pemerintahannya, dia mengedarkan
keputusan presiden yang memberikan kekuasaan negara sehari-hari kepada wakil
presiden Megawati. Megawati mengambil alih jabatan presiden tak lama kemudian.
Kabinet pada masa pemerintahan Megawati disebut dengan Kabinet Gotong Royong.
Tahun 2002, Masa pemerintahan ini mendapat pukulan besar
ketika Pulau Sipadan dan Ligitan lepas dari NKRI berdasarkan keputusan Mahkamah
Internasional.
Pemerintahan Yudhoyono
Pada 2004, pemilu satu hari terbesar di dunia
diselenggarakan, dengan Susilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai presiden
pertama yang dipilih secara langsung oleh rakyat, kemudian membentuk Kabinet
Indonesia Bersatu. Pemerintah ini pada awal masa kerjanya telah menerima
berbagai cobaan dan tantangan besar, seperti gempa bumi besar di Aceh dan Nias
pada Desember 2004 yang meluluh lantakkan sebagian dari Aceh serta gempa bumi
lain pada awal 2005 yang mengguncang Sumatera.
Pada 17 Juli 2005, sebuah kesepakatan bersejarah berhasil
dicapai antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang bertujuan
mengakhiri konflik berkepanjangan selama 30 tahun di wilayah Aceh.
No comments:
Post a Comment